Mengenai foto dengan kamera, maka seorang mufti Mesir pada masa lalu,
yaitu Al ‘Allamah Syekh Muhammad Bakhit Al Muthi’i – termasuk salah
seorang pembesar ulama dan mufti pada zamannya – di dalam risalahnya
yang berjudul “Al Jawabul Kaafi fi Ibahaatit Tashwiiril Futughrafi”
berpendapat bahwa fotografi itu hukumnya mubah. Beliau berpendapat bahwa
pada hakikatnya fotografi tidak termasuk ke dalam aktivitas mencipta
sebagaimana disinyalir hadits dengan kalimat “yakhluqu kakhalqi”
(menciptakan seperti ciptaanKu …), tetapi foto itu hanya menahan
bayangan. Lebih tepat, fotografi ini diistilahkan dengan “pemantulan,”
sebagaimana yang diistilahkan oleh putra-putra Teluk yang menamakan
fotografer (tukang foto) dengan sebutan al ‘akkas (tukang memantulkan),
karena ia memantulkan bayangan seperti cermin. Aktivitas ini hanyalah
menahan bayangan atau memantulkannya, tidak seperti yang dilakukan oleh
pemahat patung atau pelukis. Karena itu, fotografi ini tidak diharamkan,
ia terhukum mubah.
Fatwa Syekh Muhammad Bakhit ini disetujui oleh
banyak ulama, dan pendapat ini pulalah yang saya pilih dalam buku saya
Al Halal wal Haram.
Fotografi ini tidak terlarang dengan syarat
obyeknya adalah halal. Dengan demikian, tidak boleh memotret wanita
telanjang atau hampir telanjang, atau memotret pemandangan yang dilarang
syara’. Tetapi jika memotret objek-objek yang tidak terlarang, seperti
teman atau anak-anak, pemandangan alam, ketika resepsi, atau lainnya,
maka hal itu dibolehkan.
Kemudian ada pula kondisi-kondisi
tertentu yang tergolong darurat sehingga memperbolehkan fotografi meski
terhadap orang-orang yang diagungkan sekalipun, seperti untuk urusan
kepegawaian, paspor, atau foto identitas. Adapun mengoleksi foto-foto
para artis dan sejenisnya, maka hal itu tidak layak bagi seorang muslim
yang memiliki perhatian terhadap agamanya.
Hukum Mengoleksi Foto-Foto Artis
Apa
manfaatnya seorang muslim mengoleksi foto-foto artis? Tidaklah akan
mengoleksi foto-foto seperti ini kecuali orang-orang tertentu yang
kurang pekerjaan, yang hidupnya hanya disibukkan dengan foto-foto dan
gambar-gambar.
Adapun jika mengoleksi majalah yang di dalamnya
terdapat foto-foto atau gambar-gambar wanita telanjang, hal ini patut
disesalkan. Lebih-lebih pada zaman sekarang ini, ketika gambar-gambar
dan foto-foto wanita dipajang sebagai model iklan, mereka dijadikan
perangkap untuk memburu pelanggan. Model-model iklan seperti ini
biasanya dipotret dengan penampilan yang seronok.
Majalah dan
surat kabar juga menggunakan cara seperti itu, mereka sengaja memasang
foto-foto wanita pemfitnah untuk menarik minat pembeli. Anehnya, mereka
enggan memasang gambar pemuda atau orang tua.
Bagaimanapun juga,
apabila seseorang mengoleksi majalah tertentu karena berita atau
pengetahuan yang ada di dalamnya – tidak bermaksud mengumpulkan gambar
atau foto, bahkan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tidak ia
perlukan – maka tidak apalah melakukannya. Namun yang lebih utama ialah
membebaskan diri dari gambar-gambar telanjang yang menyimpang dari tata
krama dan kesopanan. Kalau ia tidak dapat menghindarinya, maka hendaklah
disimpan di tempat yang tidak mudah dijangkau dan dilihat orang, dan
hendaklah ia hanya membaca isinya.
Sedangkan menggantungkan atau
memasang foto-foto itu tidak diperbolehkan, karena hal itu dimaksudkan
untuk mengagungkan. Dan yang demikian itu bertentangan dengan syara’,
karena pengagungan hanyalah ditujukan kepada Allah Rabbul ‘Alamin.
—
Maraji’: Fatwa-Fatwa Kontemporer, Dr. Yusuf Qaradhawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar