Senin, 28 Oktober 2013

Berbisnis 20ribu Dengan Allah

Dia tidak pernah mengajarkan, tetapi kedekatan kami lah yang membuat saya secara tidak langsung berguru kepadanya. Namanya Indra. Entah sudah berapa lama kami berteman, kami bersahabat dan sudah seperti saudara. Sejak kecil dia tidak pernah sekalipun hidup senang. Orang tuanya berpisah sejak dia masih di sekolah dasar, hidup serba kekurangan, dihina dan diremehkan saudara sendiri, berdagang koran dan asongan untuk menyambung biaya sekolah, tamat SMK lalu bekerja menjadi buruh pabrik meski kemudian keluar dan memilih berdagang bakso cilok keliling, berdagang es serut, hingga mengais lampu hemat energi bekas dari tempat pembuangan sampah untuk dibenahi dan dijual kembali, demi untuk bisa menghidupi keluarganya. Tinggal berpindah pindah dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain, sampai akhirnya bisa memiliki rumah kecil berdinding bambu. Saya jadi ingat ketika rumahnya nyaris ambruk karena hujan lebat dan angin kencang. Sekarang sudah tidak layak lagi untuk ditempati.


Dia adalah orang yang paling kuat dan paling pantang menyerah yang pernah saya kenal. Semangat hidupnya benar benar mengilhami saya, membuat saya sadar betapa tidak bersyukurnya saya yang jauh lebih beruntung dari sahabat saya ini. Saya lahir dan besar dari keluarga yang berkecukupan. Tetapi sekarang semua berubah. Upayanya merekondisi lampu bekas sudah menuaikan hasil yang luar biasa. Memiliki tempat kerja sendiri yang kemudian kami sebut Bengkel Lampu LMT, mampu menggaji karyawan, dan bisa membangun rumah tinggal sendiri. Bukan hanya karena semangat pantang menyerahnya saja, tetapi di mata saya ini adalah hadiah dari Allah SWT atas sikap ikhlasnya untuk beramal. Ya, sahabat saya ini suka sekali beramal, baik materi ataupun sekedar menyumbangkan tenaga untuk membantu orang lain. Bagi saya mungkin inilah keajaiban beramal. Dan untuk semakin meyakinkan diri saya atas keajaiban beramal yang sudah nyata terjadi pada sahabat saya ini, saya pun lantas mencoba untuk membuktikannya.

Seperti biasa setiap kali mendapatkan penghasilan dari pekerjaan saya sebagai Tour Organizer  (jasa penyedia paket perjalanan wisata) dan jasa pembuatan-pemasangan gigi tiruan, saya menyerahkan semuanya kepada istri saya. Tentu setelah saya ambil terlebih dahulu sebagian kecil untuk pegangan. Jumat lalu, minggu ke tiga Oktober 2013, uang pegangan saya hanya tersisa 40 ribu rupiah saja yang sejatinya akan saya gunakan untuk mengisi bensin motor saya. Jarumnya sudah menunjuk pada garis merah. Ketika hendak berangkat sholat Jumat, tiba tiba seperti ada yang mempengaruhi otak saya yang kemudian membuat saya mengambil setengah dari sisa uang pegangan saya. Sambil mengacungkan pecahan dua puluh ribu an, dengan nada bercanda saya berkata kepada istri "Saya mau berbisnis dengan Allah, nanti uang ini akan saya masukkan ke kotak amal di masjid, Allah menjanjikan balasan berlipat lipat, 20 ribu akan menjadi 2 juta". Sambil tersenyum istri saya seketika mengamini nya.


Belum juga genap hingga jumat berikutnya, Allah sudah menunjukkan kebenaran akan janji janji Nya. Setelah dari awal bulan pekerjaan saya sepi, tiba tiba ada pasien yang ingin dipasangkan gigi tiruan. Subhanallah, total order nya 2 juta rupiah!! Tidak berhenti sampai di situ saja, sebelum artikel ini saya tulis, siang hari tadi datang 3 pasien lagi dengan jumlah order yang berbeda beda. Setelah saya jumlah ketiganya, Allahu Akbar, totalnya persis 2 juta lagi..!! Subhanallah. 20 ribu pun telah Allah gantikan menjadi 2 juta. Bahkan dua kali 2 juta. Subhanallah.

Keajaiban lain pun terjadi. Saya dan sahabat saya ini sudah sangat lama merencanakan ingin mengembangkan usaha lampu rekondisi yang dikerjakannya. Tidak hanya menservis / memperbaiki lampu yang sudah rusak atau merekondisi lampu lampu bekas dari tempat pembuangan sampah, tapi kami ingin memiliki produk lampu hemat energi buatan sendiri. Dan rencana itu akan segera terwujud. Allah sudah membukakan jalan Nya. Produk lampu buatan sendiri itu kini sedang memasuki proses produksi dan segera siap didistribusikan.

Dan keajaiban ini pun masih berlanjut. Tiba tiba saja saya mendapat banyak email, inbox facebook, invite kontak bbm, dan sejumlah pesan singkat yang semuanya berisi pertanyaan pertanyaan seputar paket paket wisata yang saya buat dan saya jual di berbagai situs dan forum online. Memang baru satu grup saja yang sudah deal dan mem-booking paket wisata ke Bromo, selebihnya masih sebatas bertanya tentang isi program tour dan harga. Sepertinya Allah masih menunggu 20 ribu - 20 ribu berikutnya agar semua pertanyaan pertanyaan dari calon calon klien berujung pada kata deal. :)


Ilmu agama saya masih sangat dangkal, tetapi saya sangat yakin akan kebenaran janji Allah seperti pada keajaiban amal ini. Sahabat saya sudah menjadi salah satu bukti, dan bisnis 20 ribu itu juga menjadi buktinya. Ini baru 20 ribu, saya tidak bisa membayangkan seperti apa ganjaran yang Allah berikan pada umat umat Nya yang dengan ikhlas beramal dalam jumlah besar. Subhanallah.

Tidak ada maksud riya' dalam penulisan artikel ini. Hanya sekedar berbagi dan ajakan jika amal adalah bisnis yang pasti menguntungkan dan tidak akan pernah merugikan. InsyaAllah.





Selasa, 08 Oktober 2013

Papuma oh Papuma...

Nama aslinya adalah Pantai Pasir Putih Malikan, tapi mungkin karena terlalu panjang untuk disebut, maka disingkat menjadi Pantai Papuma. Adalah salah satu pantai wisata yang wajib dikunjungi di Jember selatan, lokasinya persis bersebelahan dengan Pantai Watu Ulo yang nama besarnya udah meredup karena kalah mengkilap dengan Papuma. Nasibnya persis seperti Pantai Bajul Mati di Malang selatan yang nyaris ga pernah ada pengunjung lagi setelah tetangga sebelahnya, Pantai Goa Cina dibuka jadi obyek wisata dan langsung happening banget sampai sekarang. 
Dengan bermodal patungan 100ribuan untuk sewa mobil dan beli premium bersubsidi, saya, istri saya dan 4 orang teman langsung ngacir meninggalkan Malang menuju Jember via jalur selatan (Dampit - Lumajang). Sengaja berangkat jam 01 dini hari selain jalan masih sepi, juga agar bisa sampai di lokasi pagi pagi, dan bisa punya banyak waktu untuk hefingfan di Papuma. 5 jam kemudian a.k.a jam 06 pagi kami sudah sampai di kawasan pantai Watu Ulo dan Papuma.
Entah karena faktor kantuk dan lelah, atau perut yang lapar sehingga konsentrasi memudar, saya yang didaulat sebagai supir sekaligus guide sampai melewatkan baliho raksasa jalan masuk menuju Papuma. Saya baru sadar setelah saya memasuki perkampungan nelayan dan jalan aspal yang saya lewati berujung persis di tepi pantai. Kata warga setempat sih itu masih masuk area Watu Ulo. Kepalang tangung, break aja sekalian sarapan. Nyasar pun pantainya keren kok....

Pano view dari ujung kampung nelayan Watu Ulo, Jember
Nyadar sudah nyasar, saya langsung balik arah sampai akhirnya bertemu tanda masuk ke area Pantai Papuma. Dari jalan masuk ini saya sudah langsung bernostalgia ketika pertama kali datang kesini tempo doeloe waktu explore pantai selatan Jawa Timur mulai dari Lumajang, TN Merubetiri, Bandealit Jember, sampai Sukamade Banyuwangi. Kawanan pohon jati meranggas inilah yang langsung membuka cerita lama.. :)




Gerbang dan loket Pantai Papuma sudah menanti di ujung hutan jati. Harga tiket yang saya beli (20 Agustus 2013) adalah 10ribu perOrang, plus parkir dan asuransi totalnya 64ribu untuk kami ber-enam. Tiket sudah ditangan, tapi saya justru mundur dan parkir sejenak di depan loket. Penjaga loket dan semua teman teman saya bingung karena saya tiba tiba meningalkan mobil dan berlari turun ke bawah jembatan persis di bawah loket. Ada obyek menarik yang haram lepas dari bidikan saya. Saya yakin banyak yang tidak tahu dan tidak sengaja melewatkan ini.

Neglected beauty
Baru di pintu masuk saja sudah disambut view yang cantik seperti itu, semakin tidak sabar saja rasanya untuk segera merekam keindahan Pantai Papuma, bersenang senang di pasir nya yang putih, dan merasakan deburan ombaknya. Parkir mobil sekenanya, karena disini memang tidak ada tempat parkir khususnya. Cuaca sedang cerah, ceraaaah banget sampai bikin keringetan. Jadi mumpung matahari belum terlalu tinggi, mumpung cahaya nya masih cukup bersahabat dengan sensor kamera, jadi ya langsung saja ambil gambarnya...





Pasir putih, batuan pantai berwarna coklat muda berukuran cukup besar, serta deretan tanaman pandan raksasa berduri khas tanamam pantai, menghiasi sepanjang pinggiran Papuma. Pepohonan disini cukup banyak dan rindang, cocok untuk yang kulitnya mudah gosong seperti saya hehe... Disini juga banyak warung warung yang menyediakan menu sea food dan es kelapa muda, serta gazebo gazebo untuk beristirahat yang letaknya persis menghadap ke bibir pantai. Ombaknya cukup besar, jadi tidak disarankan untuk berenang di sini.




Dan pulau karang raksasa yang berdiri kokoh itulah yang menjadi icon Pantai Papuma. Warga setempat menyebutnya dengan nama watu kodok (batu katak). Apa karena bentuknya seperti katak..? Entahlah, saya sendiri juga belum menemukan dari sisi mana yang mirip katak. Kalau saja saya punya lebih banyak waktu saya akan menunggu sampai menjelang sore dan air laut surut. Selain view gugusan karang nya akan menjadi sangat indah dibalik lensa, kita bisa berjalan mendekati si kodok melalui karang karang yang ada di sekitarnya. Sayang keterbatasan waktu memaksa saya melewatkan keindahan sunse nya. 
Memaksimalkan waktu, saya bergeser ke Siti Hinggil. Siti (tanah), hinggil (atas) adalah nama sebuah bukit dimana kita bisa melihat seluruh area Pantai Papuma dari ketinggian. Dari atas bukit ini, kita juga bisa melihat pantai Watu Ulo, ujung kampung nelayan dimana saya sempat nyasar sebelumnya, serta pulau Nusa Barong di kejauhan.






Papuma memang tidak sebersih ketika pertama saya kunjungi beberapa tahun lalu. Sampah banyak ditemukan di sana sini, ciri khas pantai wisata di Indonesia, makin dikenal makin ramai dan makin kotor. Tetapi keindahan nya masih tetap sama. Satu dari berjuta Mahakarya Tuhan yang luar biasa. Perjalanan saya pun berakhir sore hari, dan bersiap menempuh perjalanan kembali ke Malang. Selesai untuk hari ini, bersiap untuk episode berikutnya :)


ooOOoo